banner 728x250

Deolipa Yumara Desak Pemerintah Tutup Tambang Nikel di Raja Ampat: Ini Bukan Lagi Soal Hukum, Tapi Soal Masa Depan Bangsa

Foto: Kawasan Pariwisata Unggulan Dunia, Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Dok-Istimewa)

JAKARTA, POROSNUSANTARA.COM – Praktisi hukum sekaligus aktivis lingkungan, Deolipa Yumara, angkat suara keras soal aktivitas pertambangan nikel yang diduga mencemari kawasan pariwisata unggulan dunia, Raja Ampat. Menurutnya, keberadaan tambang nikel di kawasan ini bukan hanya mencoreng wajah Indonesia di mata internasional, tetapi juga merusak masa depan ekologi dan ekonomi masyarakat setempat.

“Kalau kita mendengar kata Raja Ampat, asosiasinya langsung ke pariwisata, keindahan karang, ikan-ikan, alam yang luar biasa. Sekarang tiba-tiba dibuka tambang nikel? Itu di kepala kita langsung rusak imajinya,” tegas Deolipa saat diwawancarai, di Kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (9/6/2025).

Antara Izin dan Ketidaksinkronan Kebijakan

Deolipa menyoroti lemahnya koordinasi antara kementerian yang mengurusi sumber daya alam dengan sektor pariwisata. Menurutnya, izin pertambangan yang dikeluarkan pada 2017 tidak memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan daya tarik wisata global Raja Ampat.

Foto: Praktisi Hukum Deolipa Yumara. (Dok/AA/PN)

“Siapa yang ngasih izin? Apakah sudah hitung dampaknya ke pariwisata? Yang penting ada nikel, ambil. Ini negara apa? Nggak ada koordinasi. Hanya karena ada izin, bukan berarti tambang itu sah secara moral. Harus ditutup, titik,” ujarnya tegas.

Bukan Sekadar Legalitas, Ini Soal Moralitas

Deolipa menilai legalitas pertambangan bukan satu-satunya tolok ukur kebijakan publik. “Yang kita hadapi sekarang bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pelanggaran terhadap masa depan bangsa. Kalau Raja Ampat rusak, nama Indonesia di mata dunia juga ikut hancur,” katanya.

Ia pun mengkritik sebagian warga yang mendukung tambang karena mendapat keuntungan ekonomi jangka pendek. “Jangan karena uang sesaat, kita korbankan warisan alam yang bisa dinikmati anak cucu. Sebagian masyarakat memang dapat keuntungan, tapi mayoritas akan rugi secara permanen.”

Panggilan untuk Bertindak: Dari Lagu ke Tindakan Hukum

Dikenal juga sebagai seniman, Deolipa menyebut bahwa saat ini bukan lagi waktunya untuk berkarya lewat lagu atau seni, melainkan bertindak tegas secara hukum. “Ini bukan soal seni. Ini sudah darurat. Kita butuh sikap tegas dari pemerintah. Hentikan tambang nikel di Raja Ampat sekarang juga.”

Ia menyatakan akan menggandeng pengacara-pengacara lokal di Papua untuk mendampingi warga yang ingin mengajukan gugatan atau penolakan terhadap aktivitas pertambangan. “Kita akan turun langsung, berikan pendampingan hukum. Ini pertaruhan besar,” tandasnya.

Catatan Kritis: Potensi Kerusakan dan Ancaman Permanen

Para ahli lingkungan memperingatkan bahwa pertambangan nikel yang dilakukan di wilayah pesisir dan dekat laut berpotensi mencemari ekosistem laut secara luas. Partikel logam berat dan limbah tambang bisa terbawa arus laut dan merusak terumbu karang, yang merupakan salah satu kekayaan utama Raja Ampat.

“Raja Ampat itu salah satu wajah Indonesia di dunia. Kalau dirusak, jangan harap kita bisa bicara soal pariwisata berkelanjutan lagi,” ujar Deolipa menutup wawancara.

Catatan Redaksi: Pemerintah pusat hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi terkait desakan penutupan tambang di Raja Ampat. Investigasi lanjutan masih diperlukan untuk menelusuri pihak-pihak yang mengeluarkan izin serta potensi konflik kepentingan di baliknya.

(Ayu Andriani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *