JAKARTA, POROSNUSANTARA.COM – Hubungan yang selama ini harmonis antara insan pers dan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur (Kejari Jaktim) kini menuai sorotan tajam. Sejumlah jurnalis yang biasa meliput kegiatan di lingkungan Kejari mengaku mendapat perlakuan tidak layak, menyusul adanya kebijakan pembatasan aktivitas media di area kantor setelah pukul 16.00 WIB.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis (7/8), sekitar pukul 17.30 WIB. Dua wartawan yang tengah duduk santai di depan Pos Pelayanan Hukum—tepat di seberang gerbang utama Kejari—ditegur secara langsung oleh petugas keamanan. Mereka diminta segera meninggalkan lokasi dengan alasan bahwa aktivitas media sudah tidak diperbolehkan di area kantor usai jam kerja.
“Ini sudah bukan jam kantor. Tolong hargai kami bertugas. Sesuai instruksi, kalian sudah tidak ada kepentingan di sini. Silakan tinggalkan tempat ini,” ujar salah satu petugas keamanan dengan nada tegas.
Kebijakan ini disebut-sebut sebagai instruksi langsung dari Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur yang baru, Dedy Priyo Handoyo. Dedy sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Pengembangan Pegawai pada Biro Kepegawaian Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan di Kejaksaan Agung.
Sebagai pimpinan baru dengan latar belakang pengembangan sumber daya manusia, publik sejatinya menaruh harapan akan hadirnya suasana kerja yang lebih kolaboratif dan terbuka. Namun, sikap tertutup terhadap media justru memperlihatkan arah sebaliknya.
Untuk menjaga keberimbangan informasi, awak media telah mencoba mengonfirmasi langsung kepada Kajari Jaktim melalui pesan singkat WhatsApp. Hingga berita ini ditayangkan, belum ada tanggapan yang diberikan.
Padahal, pembatasan akses terhadap ruang publik milik negara tanpa kejelasan aturan tertul
is berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Kami tidak mengganggu jalannya pekerjaan. Kami hanya duduk di ruang terbuka, tanpa masuk ke area internal. Tapi perlakuannya seolah kami ini ancaman,” ungkap salah satu jurnalis yang enggan disebutkan namanya.
Upaya media untuk menunggu dan menemui Kajari secara langsung pun tidak membuahkan hasil.
Kebijakan yang terkesan sepihak dan tertutup ini memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar:
Apa alasan di balik pembatasan ini? Apakah ada hal yang ingin ditutup-tutupi? Mengapa media, sebagai bagian dari kontrol publik, justru disingkirkan dari ruang yang seharusnya transparan?
Sebagai institusi penegak hukum, Kejaksaan seyogianya menjadi teladan dalam menjunjung prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kebebasan pers. Langkah-langkah yang membatasi ruang gerak media tanpa dasar hukum yang jelas justru menodai semangat reformasi birokrasi dan demokrasi yang sedang dibangun.













