banner 728x250

Hendri Yudi Soroti Ketaatan Lembaga Negara pada Putusan MK Terkait Jabatan Sipil Polri

Foto: Hendri Yudi, S.H., M.H., Senior Partner Kantor Hukum Akhyari Hendri & Partners, alumni Program Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan (PPNK) Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Angkatan ke-219. (Dok-Pribadi/Hendri Yudi)

JAKARTA – Senior Partner Kantor Hukum Akhyari Hendri & Partners, Hendri Yudi, S.H., M.H., menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil bersifat final dan langsung berlaku tanpa menunggu revisi undang-undang.

Pernyataan tersebut ia sampaikan menanggapi Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menghapus celah hukum penugasan polisi aktif ke jabatan sipil.

Hendri, yang juga alumni Program Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan (PPNK) Lemhannas RI Angkatan ke-219, menilai kepastian hukum atas putusan MK wajib dihormati oleh seluruh lembaga negara, termasuk Polri.

“Putusan MK itu putusan hukum dan mengikat. Menurut undang-undang, putusan MK berlaku seketika begitu palu diketok. Tidak ada alasan untuk menunda,” ujar Hendri dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (16/11/2025).

Dikatakan Hendri, bahwa putusan MK bersifat final dan binding. “Dapat kita ketahui bahwa konsep final and binding pada putusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian menjadi pilar penting pada Sistem Hukum Indonesia dapat memberikan kepastian hukum, memastikan kepatuhan, serta mempengaruhi kebijakan publik secara signifikan,” ucapnya.

Menurut Hendri, keberlakuan putusan MK berada pada derajat hukum tertinggi yang tidak dapat dinegosiasikan. Karena itu, setiap anggota Polri aktif yang tengah menjabat posisi sipil harus segera melepaskan jabatannya.

“Kalau kita masih mengakui negara ini sebagai negara hukum dan negara demokrasi konstitusional, maka proses penghentian jabatan itu harus segera diatur kembali. Tidak bisa ditunda,” tegasnya.

Ia menambahkan, implementasi putusan MK tidak memerlukan perubahan UU lebih dulu. MK, kata dia, mempunyai kewenangan untuk membatalkan norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, termasuk penjelasan pasal yang selama ini memungkinkan penugasan polisi aktif di jabatan sipil.

“Putusan MK tidak perlu menunggu revisi undang-undang. Begitu diputus, norma yang dibatalkan langsung tidak berlaku. Ketentuan mengenai penugasan dari Kapolri sudah gugur otomatis,” jelas Hendri.

Meski demikian, Hendri menekankan bahwa pelaksanaan putusan MK bukan berada dalam lingkup kewenangan Komisi Reformasi Polri. Menurutnya, tim reformasi Polri hanya bersifat administratif dan bertugas memberi rekomendasi kepada Presiden.

“Keputusan reformasi Polri itu administratif. Mereka menyampaikan rekomendasi ke Presiden, bukan eksekutor terhadap putusan MK,” ujarnya.

Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (14/11) menghapus frasa “atau tidak berdasarkan pengugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Putusan itu mempertegas ketentuan pada pasal tersebut yang menyatakan bahwa: Anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Dengan demikian, seluruh bentuk penugasan oleh Kapolri yang selama ini menjadi dasar pengisian jabatan sipil oleh polisi aktif dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

MK dalam putusannya mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite secara keseluruhan. Para pemohon menilai keberadaan frasa tersebut membuka ruang konflik kepentingan dan bertentangan dengan prinsip profesionalisme kepolisian

Putusan MK ini membawa implikasi langsung terhadap penataan struktur jabatan yang selama ini ditempati anggota Polri aktif, baik di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Pihak pemerintah kini dituntut menyusun mekanisme transisi yang tertib, cepat, dan sesuai koridor hukum.

Pengamat hukum menilai putusan ini memperkuat upaya pemisahan peran sipil dan kepolisian demi menjaga independensi aparat penegak hukum serta mencegah potensi konflik kepentingan di ruang birokrasi.

Pernyataan Hendri Yudi menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki ruang abu-abu dalam pelaksanaan putusan MK. Dengan sifatnya yang final dan mengikat, larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil menjadi aturan yang wajib dipatuhi, sekaligus menandai babak penting reformasi penataan institusi penegak hukum di Indonesia.

(Ayu Andriani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *