SERANG, BANTEN | POROSNUSANTARA.COM – Pengaduan masyarakat atas nama Jati Nugroho dan Agus Hendro, warga yang berdomisili di Jalan Samaun Bakri, Kelurahan Lopang, Kecamatan Serang, Kota Serang, telah masuk ke Kantor LIPAN-RI terkait dugaan penyerobotan lahan milik keduanya yang berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM).
Masing-masing bidang tanah seluas 400 m² yang terletak di Desa Banjarsari, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, dilaporkan telah diserobot oleh pihak pengembang PT. BMP, di mana di atas kedua bidang tanah tersebut kini telah berdiri gudang material, alat berat, dan sebagian area sudah dipondasi.
Menurut keterangan pengadu, pihak pengembang belum pernah melakukan pembebasan atau ganti rugi sepeser pun terhadap tanah milik mereka. Bahkan, pihak pengembang diduga melakukan rekayasa hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Serang untuk membatalkan bukti kepemilikan tanah yang sah dan telah bersertifikat sejak tahun 2016, diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Serang.

Akibat kejadian tersebut, para ahli waris mengaku sangat dirugikan secara material oleh tindakan pengembang yang dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Mereka pun mengajukan pengaduan kepada Kantor LIPAN-RI.
Investigasi LIPAN-RI.
Menindaklanjuti laporan tersebut, tim investigasi LIPAN-RI turun ke lapangan dan mendatangi Kantor Pertanahan Kota Serang pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Menurut Anto, salah satu anggota tim investigasi, didapatkan sejumlah fakta di lapangan, antara lain:
● Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama pemilik sah tercatat di Kantor Pertanahan Kota Serang.
● Di atas objek tanah telah berdiri bangunan dan pondasi.
● Pihak ahli waris belum pernah menerima ganti rugi pembebasan tanah dari pengembang.
Terdapat indikasi perbuatan melawan hukum oleh pihak pengembang.
Terindikasi adanya praktik mafia tanah.
Lebih lanjut, Anto menjelaskan bahwa Agus Hendro, salah satu ahli waris, pernah menerima surat panggilan sidang dari Pengadilan TUN Serang.
“Ahli waris dipanggil untuk menghadiri sidang pertama atas pengaduan pihak developer. Dalam sidang, ahli waris menunjukkan sertifikat asli atas lahan tersebut hingga pihak kejaksaan dan developer meminta salinannya. Namun pada panggilan kedua, ahli waris tidak hadir karena perkara sudah dibatalkan oleh pihak developer,” ujar Anto.
Tim LIPAN-RI juga sempat bertemu dengan Edi, pihak pengembang yang bertanggung jawab atas keamanan lokasi lahan.
“Pak Edi menyampaikan bahwa dirinya hanya bekerja berdasarkan instruksi atasan dan tidak memahami permasalahan tersebut. Ia bahkan meminta kepada LIPAN-RI agar persoalan diselesaikan secara musyawarah tanpa ada pihak yang dirugikan,” terang Anto.
Pihak LIPAN-RI kemudian mendatangi BPN Kota Serang untuk memverifikasi keabsahan sertifikat tersebut.
“Pihak BPN membenarkan bahwa sertifikat yang dimiliki oleh ahli waris adalah sah dan terdaftar resmi,” tutup Anto di Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Sementara itu, pihak BPN (Kasi Sengketa Lahan) menyampaikan bahwa dirinya turut hadir pada sidang TUN kedua, yang akhirnya dibatalkan oleh pihak penggugat (developer).
Pendapat Hukum.
Menanggapi kasus tersebut, Anirwan, S.H., praktisi hukum dari Kantor Hukum Anirwan & Partners, memberikan pandangan hukum secara netral.
Menurutnya, apabila benar lahan yang disengketakan telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah dan masih tercatat aktif di Kantor Pertanahan, maka posisi hukum pemegang sertifikat tersebut sangat kuat sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Sertifikat Hak Milik merupakan bukti kuat kepemilikan atas tanah selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya di pengadilan. Karena itu, setiap tindakan pihak lain yang membangun atau menguasai lahan tanpa persetujuan pemegang hak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad),” jelas Anirwan.
Ia juga menambahkan bahwa langkah pengembang yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) tidak otomatis membatalkan keabsahan sertifikat, sebab kewenangan TUN hanya menguji keabsahan keputusan tata usaha negara, bukan sengketa perdata atau kepemilikan tanah.
“Apabila terdapat dugaan penyerobotan lahan atau pembangunan tanpa ganti rugi, pemilik sah dapat menempuh upaya hukum perdata di pengadilan negeri atau melaporkan secara pidana apabila ditemukan unsur kesengajaan dan itikad buruk,” tegasnya.
Sebagai penutup, Anirwan mendorong agar permasalahan ini diselesaikan secara musyawarah dan mediasi dengan pendampingan lembaga hukum maupun lembaga perlindungan masyarakat seperti LIPAN-RI, agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan dan semua pihak mendapatkan keadilan. (dar)









