DPP NCW Temukan Adanya Indikasi Korupsi Dan Kolusi Pada Proyek Rempang Eco City.

Avatar photo

 

Jakarta Selatan | Porosnusantara.com – Melanjutkan hasil investigasi DPP NCW terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City menemukan indikasi baru adanya ketidaksesuaian ucapan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Pada Konperensi pers yang digelar DPP National  Corruption Watch (NCW)  di kantor sekretariatnya, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin, 2/9/2023

Ketum NCW, Hanifa Sutrisna, SE, MSM. CSCP, CIB,CATS, CPSD  menyampaikan:

Dalam beberapa kesempatan Bahlil menyatakan bahwa Rempang Eco City sudah direncanakan dan sudah disusun perencanaannya dengan matang dan tidak akan merugikan pihak manapun, termasuk masyarakat yang terdampak. Bahlil juga menyatakan pada kesempatan lain, bahwa sudah 80% masyarakat yang terdampak setuju untuk direlokasi, terutama masyarakat yang memiliki alas hak berupa Sertifikat Hak Milik (SHM). Pada kenyataannya, semua yang disampaikan oleh Bahlil yang dikatakannya mewakili kepentingan pemerintah Indonesia tidak semuanya terbukti di lapangan,” ujarnya.

Ketidaksesuaian, sambungnya  ucapan Bahlil inilah yang mendorong NCW melakukan penyelidikan dan pencarian data yang sebenarnya terkait PSN Rempang Eco City.

“Hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi tersebut, akhirnya DPP NCW mendapatkan beberapa temuan yang mewarnai carut-marut relokasi lahan masyarakat Pulau Rempang dan adanya indikasi korupsi dan pengaturan nilai investasi guna menguntungkan beberapa pihak terkait investasi triliunan rupiah di Rempang Eco City,” kata Hanifa.

Selanjutnya  DPP  NCW dalam rilisnya menguraikan temuan-tenuan tersebut :

Temuan pertama, DPP NCW menemukan bukti digital bahwa investor Rempang Eco City Xinyi Glass Holding Limited yang akan membangun pabrik kaca dan panel surya terbesar di dunia yang menelan investasi $11,5 miliar atau setara Rp 175 Triliun tidak pernah serius menjalankan semua bentuk kerjasama yang sudah ditanda tangani di 2 lokasi kawasan industri sebelum masuk ke Rempang Eco City. Dari data yang NCW temukan, sebelum Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$6-7 miliar untuk investasinya menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa Bangka Belitung, rencana investasi ini disampaikan Cheng Gang  kepada Pj Gubernur Provinsi Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin, Rabu (23/11/2022) di Pangkalpinang. Namun, begitu akan dilanjutkan untuk proses MoA, Xinyi Glass seperti raib dan hilang tanpa kabar berita, dan beredar alasan belum dilanjutkan proyek industri kaca terbesar di ASEAN oleh Xinyi Glass karena tidak tersedianya gas di kawasan Bangka Belitung Industrial Estate, Sadai Bangka Selatan.

Informasi terbuka lainnya, dimana Xinyi Glass juga berkomitmen investasi di Gresik bernilai US$700 juta. Mereka masuk dengan menggaet mitra lokal PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS) untuk membeli lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik kaca. Berdasarkan Perjanjian tersebut, BKMS telah setuju untuk menjual lahan dan Xinyi telah setuju untuk membeli lahan yang luas dalam rangka pembangunan pabrik produksi Kaca Xinyi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE (KEK JIIPE). Namun progres investasi ini tidak jelas ujungnya, hal ini diduga karena rendahnya kemampuan keuangan Xinyi.

Baca Juga :  MANGRAK !!!, Proyek Multiyears Jalan Lingkar Galela-Loloda Habiskan Anggaran 290 M, Ketum MUB O. H. Sero Angkat Bicara

Dugaan rendahnya kemampuan keuangan Xinyi Glass ini tercermin dalam laporan keuangan konsolidasi Xinyi Glass Holdings Limited Tahun 2022, yang diaudit EY Ernst & Young’s. Hasil laporan keuangan E&Y ini membantah jika disebut Xinyi Group perusahan berkelas dunia dengan jangkauan pasar global yang dominan. Faktanya, 68 persen penjualan Xinyi Glass di pasar lokal China, bukan dunia.
Hasil audit juga mengungkapkan, nilai property plan equipment Xinyi Group hanya US$2,2 miliar dan sales revenue sebesar US$3,4 miliar. Sedangkan consolidate net cash flow hanya US$41 juta. Lalu bagaimana mungkin Xinyi Group bisa investasi hingga US$11,5 miliar? Apakah hanya untuk menggoreng saham Xinyi Glass Holding Limited agar naik dan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan jahat ‘investasi bodong’ perusahaan pabrik kaca asal Tiongkok tersebut?

Namun pasca bentrokan masyarakat Pulau Rempang dengan Aparat Penegakan Hukum (APH), saham Xinyi Glass kena batunya sehingga turun hingga 20% pada 26 September 2023, dan kembali naik pada 29 September 2023 setelah adanya upaya dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bahwa investasi Rempang Eco City tetap akan dilanjutkan dengan 4 poin petunjuk dari Presiden Jokowi, seperti terlihat pada ilustrasi di bawah ini.

Temuan kedua, Proyek Eco City Rempang belum menyelesaikan studi Analisa Dampal Lingkungan (AMDAL), hal ini disinyalir dengan beredarnya di dunia maya undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 perihal Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City Kecamatan Galang Kota Batam Provinsi Kepulaun Riau. Hal ini menjadi pertanyaan publik selanjutnya, apakah sebuah mega proyek bisa dilaksanakan dan dianggap sudah melewati proses kajian yang komprehensif sehingga layak untuk diteruskan?

Temuan ketiga, dalam sebuah konferensi pers di media televisi, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mewakili pemerintahan Presiden Jokowi menyampaikan bahwa hanya 20% masyarakat Pulau Rempang yang terdampak relokasi dan penggusuran yang tidak setuju untuk dipindahkan, itupun rata-rata yang menolak tersebut tidak memiliki alas hak atau SHM atas tanah yang mereka kuasai, ujar Bahlil. Namun rakaat di lapangan hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpecaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80% masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru. Kami tidak pernah setuju untuk direlokasi, lebih baik kami tinggal dengan rumah seadanya tapi kami merasa bahagia dan hidup tentram selama puluhan tahun daripada direlokasi tapi tidak ada kejelasan masa depan dan kehidupan di tempat baru, ujar Ahmad (bukan nama sebenarnya) menuturkan keluh kesah mereka.

Temuan keempat, berdasarkan informasi sumber terpercaya, ditemukan data dan fakta bahwa pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang belum dialokasikan oleh pemerintah pusat, apalagi oleh BP Batam. Hal ini terbukti dari pernyataan Kepala BP Batam Rudi beberapa waktu yang lalu, seluruh akses jalan di lingkungan sendiri dan akses jalan ke Jalan Trans Barelang juga harus disiapkan, beserta pelabuhan untuk mereka bisa ke laut dan pelabuhan bongkar muat untuk kebutuhan kampung baru itu sendiri. “Maka uang kita perhitungkan Rp 1,56 triliun untuk selesaikan semua itu, artinya kita butuh waktu maka kita minta bantuan pusat,” ucap Rudi (15/09/23). Kondisi ketidaksiapan anggaran ini menimbulkan tanda tanya besar kepada publik, kenapa masyarakat dipaksa segera pindah jika anggaran relokasi belum tersedia?

Baca Juga :  KEPALA BNN RI TERIMA KUNJUNGAN BUPATI SAMBAS, BAHAS PENANGGULANGAN NARKOTIKA DI WILAYAH PERBATASAN

Temuan kelima, awal mula Konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada tahun 2001 berawal dari diterbitkannya HPL ( Hak Pengelolaan Lahan) oleh pemerintah pusat dan BP Batam. HPL tersebut diterbitkan untuk perusahaan swasta, yang kemudian HPL tersebut berpindah tangan ke PT.Makmur Elok Graha (PT MEG). Mengutip Antara, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran. Tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha di Pulau Rempang sejak 2001 dan 2002.
Namun, hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK hak guna usaha itu sudah dikeluarkan pada tahun 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD. Apakah setelah sekian lama tidak dikelola oleh PT MEG, lahan yang jadi sengketa saat ini masih punya alas hukum yang kuat untuk diteruskan?
Hal menarik lainnya dalam hal ini, pada tahun 2019 silam, Presiden Jokowi beserta rombongan dalam rangka program 2 juta sertifikat tanah di seluruh Indonesia, salah satunya sertifikat untuk masyarakat Kampung Tua, Pulau Rempang, Jokowi menyatakan bahwa, sertifikat kampung tua akan segera kita selesaikan, maksimal 3 bulan akan disertifikatkan, ujar Presiden Jokowi. Kini warga masyarakat harus berhadapan dengan kondisi yang ada kejelasan, setelah mereka hidup berpuluh tahun di Pulau Rempang dan rata-rata masyarakat rutin membayar pajak ke pemerintah. Jangan kan sertifikat yang dijanjikan, saat ini masyarakat Pulau Rempang dipaksa untuk menerima relokasi dan diminta pindah ke lokasi yang akan disiapkan oleh BP Batam.

Temuan keenam, DPP menerima pengaduan masyarakat bahwa hingga saat ini masih terus dilakukan intimidasi oleh oknum APH dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta masyarakat yang terdampak relokasi di Pulau Rempang untuk segera menyetujui rencana relokasi ke lokasi baru yang belum tersedia hingga saat ini. Presiden Jokowi semestinya hadir dalam menyikapi dan menyelesaikan carut marut relokasi masyarakat di Pulau Rempang dan janji untuk memberikan sertifikat untuk masyarakat Kampung Tua harus ada penyelesaian akhirnya.

Baca Juga :  Wadan Lantamal I Ikuti Rakornas Hidrografi Tahun 2024 Melalui Vicon

Temuan ketujuh, mengutip dari CNBC (15/09/23), Kepala BP Batam Rudi mengaku, sudah berkonsultasi dan meminta persetujuan Komisi VI DPR untuk mendapat dukungan dana itu dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pusat melalui APBN. Namun, ia menganggap, anggaran yang dibutuhkan BP Batam ini belum bisa terpenuhi. “Sehingga mungkin kami akan gunakan atau talangan dana lain dulu,” ujar Rudi.
Karena dukungan dana dari pemerintah pusat belum ada hilalnya, Rudi mengatakan, akan memanfaatkan setoran uang wajib tahunan (UWT) dari pengelola 17.600 hektare wilayah Rempang, yakni PT MEG (Makmur Elok Graha). PT MEG sudah menjadi pengelola sejak 2004.
“Kalau lahan ini kita bisa berikan, kan ada kewajiban pengusaha bayar uang wajib tahunan Otorita Batam atau BP Batam. Per meternya sudah ada hitungannya, sehingga kalau kita kali 7.000-an kita bisa dapat Rp 1,4-1,5 triliun, artinya Rp 1,6 triliun kita tinggal tambah Rp 100 miliar,” kata Rudi.
“Tapi lokasi yang kita mau tagih UWT nya harus clear and clean, jadi tidak boleh ada penguasaan oleh masyarakat, perusahaan, atau yang lain,” tegasnya.
Dari informasi yang dijelaskan oleh Kepala BP Batam diatas, timbul pertanyaan:
– Sejak kapan bayar UWT mensyaratkan lahan Clear and Clear sehingga harus “merelokasi masyarakat”, lebih tidak wajar dengan meminta dana APBN, padahal konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta PT MEG.
– Hitungan UWT dimaksud apakah 7000 rupiah dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp 1,2 triliun atau 7000an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp 1,5 triliun?
– Namun jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp 3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?

Dugaan adanya kolusi dan korupsi sudah pernah diperiksa oleh Bareskrim Polri tahun 2007 dan tidak ada keterbukaan informasi ujung dari pemeriksaan kasus tersebut. Kondisi ini menyiratkan adanya dugaan korupsi dan kolusi antara oknum wakil pemerintah dan oknum PT MEG, sehingga tidak membayar UWT sewajarnya.

(DPP NASIONAL CORRUPTION WATCH/Novi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *